PASCA PROKLAMASI Kemerdekaan
Indonesia, tantangan kemerdekaan muncul
dari luar dan dalam. Dari luar negeri, negara-negara Barat ingin menguasai
kembali wilayah Indonesia. Pada 17 Januari 1948 Indonesia dan Belanda menandatangi
Perjanjian Renville. Akibatnya kekuasaan Republik Indones makin menyempit.
Kekuatan RI pun akhirnya terkonsentrasi menghadapi Belanda dan melakukan
diplomasi luar negeri untuk meraih dukungan internasional. Di antara peristiwa
yang terjadi pada fase ini adalah pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Bukit Tinggi Sumatra Barat pada 19 Desember 1948 karena
Soekarno-Hatta ditawan Belanda. Peristiwa lainnya yaitu penyerangan TNI dan
penguasaan Jogjakarta selama 6 jam pada 1 Maret 1949. Terdapat juga peristiwa
negosiasi melalui Perjanjian Roem Roijen antara Indonesia dengan Belanda yang
dilakukan pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Selanjutnya penyerahan
kembali mandat PDRI oleh Syafruddin Prawiranegara kepada Wakil Presiden Muhammad
Hatta Pada tanggal 13 Juli 1949. Termasuk Konferensi Meja Bundar yang
diselenggarakan pada 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda.
Sedangkan tantangan dari dalam
negeri, muncul perpecahan anak bangsa. Diantaranya langkah politik Hadji Maridjan Kartosuwiryo
yang memanfaatkan perseteruan RI dengan Belanda, Kartosuwiryo memproklamasikan
Negara Islam Indonesia (NII) pada
tanggal 12 Syawal 1368 H bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1949. Kartosuwiryo
bergerak dari wilayah Jawa Barat dan mengembangkan pengaruh ke daerah-daerah
lainnya.
Institusi yang paling terancam
oleh NII adalah lembaga kepresidenan karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya
sebagai imam (pemimpin) umat Islam bangsa Indonesia. Deklarasi NII oleh
Kartosuwiryo menegaskan pemberlakuan hukum Islam. Akibatnya timbul persepsi
masyarakat muslim bahwa segala tiadakan yang dilakukan NII pimpinan Kartosuwiryo
berlandaskan ajaran Islam. Sebaliknnya tindakan Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia tidak mendapatkam legitimasi Islam. Persepsi ini makin
membesar saat gerakan NII makin masif melancarkan gerakan manuvernya.
NII bukan hanya soal
pemberontakan, tapi persoalan perebutan legitimasi kekuasaan dimata mayoritas
umat Islam Indonesia. Pengakuan Kartosuwiryo sebagai imam umat Islam Indonesia
secara otomatis berdampak mendegradasi Soekarno Presiden Republik Indonesia.
Kartosuwiryo ingin merebut kekuasaan melalui legitimasi Islam. Artinya,
Kartosuwiryo sedang berpropaganda bahwa menurut Islam hanya dirinya yang
memenuhi syarat sebagai imam, sedangkan Soekarno tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden sebagaimana kriteria kepemimpinan dalam Islam.
Kondisi carut marut politik
tersebut mengusik KH. Baidlowi bin Abdul Aziz dari Lasem. Pada tahun 1952 Kiai
Baidlowi akhirnya berpendapat bahwa Soekarno bagi bangsa dan negara Indonesia
adalah Waliyyul Amri Addhoruri Bis-syaukah. Maka Soekarno adalah Presiden yang
kekuasaannya sah menurut ajaran Islam. Kesimpulan tu memiliki konsekuensi bahwa
segala kebijakan dan keputusan Soekarno adalah sah. Pendapat hukum Kiai
Baidlowi lalu menjadi materi pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim
Ulama tahun 1954 di Cipanas dan disahkan sebagai keputusan Nahdlatul Ulama.
Lalu atas permintaan para kiai dari Kabupaten Blitar, keputusan Munas Alim
Ulama tersebut disahkan sebagai Keputusan Muktamar ke-20 NU tahun 1954 di
Surabaya.
"Stempel" dan legitimasi Nahdlatul
Ulama terhadap lembaga Kepresidenan menguatkan kembali posisi Soekarno sebagai
Presiden Republik Indonesia dan semua lembaga tinggi negara yang lain. Polemik
ketidakabsahan para pejabat negara terutama Presiden Soekarno karena alasan
integritas dan kapabilitas dalam perspektif Islam disudahi dengan keputusan NU
tersebut. Kedudukan Soekarno sebagai Presiden adalah sah dan tidak boleh
diturunkan karena akan menimbul problem sosial yang lebih akut bagi masyarakat.
Para kiai menolak keinginan sebagian
pihak yang akan menurunkan Presiden Soekarno karena yang dianggap ideal. Bagi
para kiai, prinsip "kebaikan untuk
masyarakat" yang sudah melekat pada diri Soekarno tidak boleh dihancurkan
dengan cara menurunkannya dari kursi kepresidenan hanya dengan alasan ingin
mendapatkan kebaikan yang lebih besar lagi. Keputusan keabsahan Presiden
Soekarno juga berlaku untuk pejabat lainnya, termasuk legitimasi bagi para
hakim.