Senin, 05 Februari 2018

Ulil Amri Ad-dharuri bis Syaukah (Menguatkan Efektifitas Pemerintah 1954)

PASCA PROKLAMASI Kemerdekaan Indonesia,  tantangan kemerdekaan muncul dari luar dan dalam. Dari luar negeri, negara-negara Barat ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Pada 17 Januari 1948 Indonesia dan Belanda menandatangi Perjanjian Renville. Akibatnya kekuasaan Republik Indones makin menyempit. Kekuatan RI pun akhirnya terkonsentrasi menghadapi Belanda dan melakukan diplomasi luar negeri untuk meraih dukungan internasional. Di antara peristiwa yang terjadi pada fase ini adalah pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatra Barat pada 19 Desember 1948 karena Soekarno-Hatta ditawan Belanda. Peristiwa lainnya yaitu penyerangan TNI dan penguasaan Jogjakarta selama 6 jam pada 1 Maret 1949. Terdapat juga peristiwa negosiasi melalui Perjanjian Roem Roijen antara Indonesia dengan Belanda yang dilakukan pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Selanjutnya penyerahan kembali mandat PDRI oleh Syafruddin Prawiranegara kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta Pada tanggal 13 Juli 1949. Termasuk Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan pada 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda.



Sedangkan tantangan dari dalam negeri, muncul perpecahan anak bangsa. Diantaranya  langkah politik Hadji Maridjan Kartosuwiryo yang memanfaatkan perseteruan RI dengan Belanda, Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia  (NII) pada tanggal 12 Syawal 1368 H bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1949. Kartosuwiryo bergerak dari wilayah Jawa Barat dan mengembangkan pengaruh ke daerah-daerah lainnya.
Institusi yang paling terancam oleh NII adalah lembaga kepresidenan karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai imam (pemimpin) umat Islam bangsa Indonesia. Deklarasi NII oleh Kartosuwiryo menegaskan pemberlakuan hukum Islam. Akibatnya timbul persepsi masyarakat muslim bahwa segala tiadakan yang dilakukan NII pimpinan Kartosuwiryo berlandaskan ajaran Islam. Sebaliknnya tindakan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia tidak mendapatkam legitimasi Islam. Persepsi ini makin membesar saat gerakan NII makin masif melancarkan gerakan manuvernya.

NII bukan hanya soal pemberontakan, tapi persoalan perebutan legitimasi kekuasaan dimata mayoritas umat Islam Indonesia. Pengakuan Kartosuwiryo sebagai imam umat Islam Indonesia secara otomatis berdampak mendegradasi Soekarno Presiden Republik Indonesia. Kartosuwiryo ingin merebut kekuasaan melalui legitimasi Islam. Artinya, Kartosuwiryo sedang berpropaganda bahwa menurut Islam hanya dirinya yang memenuhi syarat sebagai imam, sedangkan Soekarno tidak memenuhi syarat sebagai Presiden sebagaimana kriteria kepemimpinan dalam Islam.

Kondisi carut marut politik tersebut mengusik KH. Baidlowi bin Abdul Aziz dari Lasem. Pada tahun 1952 Kiai Baidlowi akhirnya berpendapat bahwa Soekarno bagi bangsa dan negara Indonesia adalah Waliyyul Amri Addhoruri Bis-syaukah. Maka Soekarno adalah Presiden yang kekuasaannya sah menurut ajaran Islam. Kesimpulan tu memiliki konsekuensi bahwa segala kebijakan dan keputusan Soekarno adalah sah. Pendapat hukum Kiai Baidlowi lalu menjadi materi pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama tahun 1954 di Cipanas dan disahkan sebagai keputusan Nahdlatul Ulama. Lalu atas permintaan para kiai dari Kabupaten Blitar, keputusan Munas Alim Ulama tersebut disahkan sebagai Keputusan Muktamar ke-20 NU tahun 1954 di Surabaya.

"Stempel" dan legitimasi Nahdlatul Ulama terhadap lembaga Kepresidenan menguatkan kembali posisi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan semua lembaga tinggi negara yang lain. Polemik ketidakabsahan para pejabat negara terutama Presiden Soekarno karena alasan integritas dan kapabilitas dalam perspektif Islam disudahi dengan keputusan NU tersebut. Kedudukan Soekarno sebagai Presiden adalah sah dan tidak boleh diturunkan karena akan menimbul problem sosial yang lebih akut bagi masyarakat.


Para kiai menolak keinginan sebagian pihak yang akan menurunkan Presiden Soekarno karena yang dianggap ideal. Bagi para kiai, prinsip "kebaikan untuk masyarakat" yang sudah melekat pada diri Soekarno tidak boleh dihancurkan dengan cara menurunkannya dari kursi kepresidenan hanya dengan alasan ingin mendapatkan kebaikan yang lebih besar lagi. Keputusan keabsahan Presiden Soekarno juga berlaku untuk pejabat lainnya, termasuk legitimasi bagi para hakim.