Kamis, 18 Desember 2008

Hikmah Penyembelihan Hewan dalam Islam

Subhanallah... Satu demi satu bukti terungkap...betapa indah nya Islam ini.....


Sebagai orang beriman, ada ketentuan yang harus diikuti dalam menyembelih hewan ternak. Di antaranya adalah Hadits Rasulullah saw yang bermakna:
“Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan (kebaikan) pada segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh,dan apabila kalian menyembelih, maka hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih. (Yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar meringankan binatang yang disembelihnya.” (H.R. Muslim).

Kandungan hadits ini agaknya “sulit” untuk dijelaskan kepada orang non-Muslim. Betapa tidak, di dalamnya terdapat ungkapan kata seakan-akan Allah memerintahkan kita untuk “membunuh”. Apalagi secara eksplisit disebutkan pengertian ”…tajamkanlah pisaunya…!” Bukankah ini menunjukkan bahwa umat Islam memang disuruh dan dilatih untuk membunuh dengan “kejam”. Namun terdapat pula ungkapan yang mungkin dianggap aneh: “…meringankan binatang yang disembelih…” (Apakah tidak aneh, membunuh kok menggunakan ungkapan kata basa-basi: “…meringankan binatang yang disembelih…” Padahal jelas, disembelih itu ‘ kan tentu menimbulkan rasa sakit yang sangat, bahkan sampai menyebakan kematian!).

Bagi kita, umat Islam, apa pun haditsnya, isinya, dan konteksnya, yang jelas itu adalah sebuah riwayat yang shahih, oleh Imam Muslim. Seorang ulama hadits yang telah teruji kebenarannya. Dan sebagai umat Islam, kita tentu meyakini bahwa Syariat Islam, seperti yang terkandung dalam hadits tersebut, adalah syariat yang “ya’lu wa laa yu’la ‘alayhi” (yang terbaik serta paling tinggi, dan tidak ada yang dapat menandingi keunggulannya).

Tetapi, keyakinan kita ini sangat berbeda dengan pendapat orang-orang Barat. Menurut mereka, Syari’at Islam itu merupakan contoh nyata betapa ajaran Islam sangat tidak manusiawi, dan kelompok/umat Islam adalah umat yang bengis. Diajarkan dan dilatih untuk suka berbuat bengis dan suka menganiaya binatang ternak. Diantara buktinya, masih menurut mereka lagi, setiap tahun umat Islam mengikat hewan ternak, kemudian menyembelih/membantainya secara beramai-ramai. Ternak-ternak itu tidak berdaya, hanya bisa meronta-ronta dan mengerang kesakitan saat disembelih. Betapa teganya orang Islam…

Menurut mereka lagi, kalau ingin mengkonsumsi daging binatang ternak, maka haruslah dengan cara yang baik. Bukan dengan menyembelihnya secara kejam. Dan cara yang baik itu, menurut mereka adalah dengan memingsankan ternak itu terlebih dahulu, baru disembelih (dalam keadaan pingsan). Dalam hal ini, pemingsanan itu dapat dilakukan dengan berbagai alat, seperti: stunning gun, pembiusan, atau menggunakan arus listrik. Selain itu, metode pemingsanan terbaik yang sering mereka lakukan adalah dengan cara memukul bagian tertentu di kepala ternak dengan alat tertentu, dengan beban dan kecepatan yang tertentu pula. Alat yang dipakai untuk memingsankan ternak itu, di antaranya adalah Captive Bolt Pistol (CBP). Menurut mereka, inilah cara yang terbaik dan lebih “manusiawi”. Cara ini juga, menurut mereka lagi, dapat melindungi pekerja dari kemungkinan kecelakaan karena hewan meronta-ronta ketika disembelih. Setelah pingsan, menurut mereka juga, hewan itu tidak akan merasa kesakitan bila disembelih. Cara seperti ini mereka yakini sebagai cara yang terbaik. Karena hewan tidak meronta-ronta, tidak tampak kesakitan, dan ‘sepertinya’ tidak merasakan sakit (karena telah pingsan).

Begitulah tuduhan dan hujatan mereka. Memang tampaknya sangat sulit bagi kita untuk ‘membela diri’, walau hanya sekedar untuk berargumentasi. Boleh jadi pula kita memang tidak bisa mengelak atas tuduhan itu, atau bahkan sebagian kita malah membenarkan tuduhan miring itu?
Lantas bagaimana kita menyikapi tuduhan miring itu? Menolak tanpa bisa memberi argumentasi (bantahan) yang rasional atau menerima saja tuduhan itu dengan setengah hati, yang berarti ‘membenarkan’ tuduhan mereka itu? Apakah memang sangat sulit bagi kita yang beriman, untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Syariat Islam adalah yang terbaik?

Di tengah-tengah kegundahan karena tudingan demikian itu, dengan sengaja Allah yang Maha-Kuasa mengirim jawaban atas tudingan dan tantangan itu, melalui penelitian ilmiah yang dilakukan oleh dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman. Yaitu: Prof.Dr. Schultz dan koleganya, Dr. Hazim. Keduanya memimpin satu tim penelitian terstruktur untuk menjawab pertanyaan: manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam yang murni (tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan)?

Keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang di permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih.
Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan Syariat Islam yang murni, dan separuh sisanya disembeli dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam Syariat Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depat, yakni: saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu: arteri karotis dan vena jugularis.
Patut pula diketahui, syariat Islam tidak merekomendasikan metoda atau teknik pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat justru mengajarkan atau bahkan mengharuskan agar ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih.
Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati. Nah, hasil penelitian inilah yang sangat ditunggu-tunggu!
Dari hasil penelitian yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof. Schultz dan Dr. Hazim di Hannover University Jerman itu dapat diperoleh beberapa hal sbb.:

Penyembelihan menurut Syariat Islam
Hasil penelitian dengan menerapkan praktek penyembelihan menurut Syariat Islam menunjukkan:
Pertama
pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih itu, tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua
pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga
setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka nol). Hal ini diterjemahkan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: “No feeling of pain at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali!).
Keempat
karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy Food.

Penyembelihan Cara Barat
Pertama

segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan collaps (roboh). Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa meronta-ronta, dan (tampaknya) tanpa (mengalami) rasa sakit. Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan).
Kedua
segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (karena kepalanya dipukul, sampai jatuh pingsan).
Ketiga
grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa, sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat
karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah beku (yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak kualitas daging.

Bukan Ekspresi Rasa Sakit!
Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar…!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syariat Islam dalam penyembelihan ternak) ternyata tidaklah ‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi ‘keterkejutan otot dan saraf’ saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu!


Disadur dan diringkas oleh Usman Effendi AS., dari makalah tulisan Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P., Sekretaris Eksekutif LP.POM-MUI Propinsi DIY dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta.

Rabu, 17 Desember 2008